Jakarta, WaraWiri.net - Di tengah kompleksitas persoalan hukum keluarga Islam di Indonesia, Kantor Urusan Agama (KUA) didorong untuk tidak lagi sekadar menjadi pencatat nikah. Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, menekankan pentingnya transformasi KUA menjadi agen literasi dan advokasi hukum keluarga.
“Jika negara gagal mencatat, negara bisa gagal melindungi. Dan KUA adalah dinding pertama agar hal itu tidak terjadi,” ujar Tholabi dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah di Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Tholabi, yang juga Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta, menyoroti sederet persoalan kontemporer yang menyelimuti dunia pernikahan, mulai dari nikah siri, perkawinan anak, kawin lintas negara, kawin beda agama, status anak luar nikah, hingga anak hasil perkawinan campuran yang kehilangan kewarganegaraan.
Menurut data yang ia paparkan, lebih dari 55.000 dispensasi nikah anak diajukan ke Pengadilan Agama sepanjang 2022. Di saat bersamaan, laporan Komnas Perempuan pada tahun 2023 mencatat 4.374 kasus kekerasan terhadap perempuan, 75% di antaranya berbasis gender.
“Ini bukan semata angka, tetapi alarm sosial. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan administratif. KUA harus hadir sebagai pelindung hak anak dan perempuan dari ketidakadilan struktural,” tegas Tholabi.
Ia juga menyoroti implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan hak perdata kepada anak luar nikah terhadap ayah biologisnya. “Di banyak kasus, utamanya hakim agama masih mengabaikan putusan ini. Tentu pertimbangannya kompeks,” katanya.
KUA dan Perluasan Fungsi Sosial
Tholabi menilai sudah saatnya KUA berevolusi menjadi lembaga pelayanan sosial-keagamaan yang lebih progresif. Ia menekankan pentingnya pelatihan berkelanjutan bagi SDM KUA dalam isu hukum keluarga, gender, mediasi, dan perlindungan anak.
“KUA harus piawai memahami lika-liku fikih perkawinan, mampu menyampaikan literasi hukum keluarga, menyusun SOP rujukan kasus KDRT, dan mampu bersinergi dengan layanan perlindungan perempuan dan anak,” ungkapnya.
Dalam paparannya, Tholabi menyampaikan sejumlah rekomendasi. Pertama, mengingatkan pentingnya integrasi data antara KUA, Pengadilan Agama, Dukcapil, dan lembaga perlindungan anak. Kedua, penerbitan panduan hukum keluarga terapan untuk KUA yang berbasis fakta masalah yang dihadapi langsung oleh KUA dalam penyediaan bimbingan keluarga. Ketiga, penguatan literasi publik melalui platform digital dan modul berbasis kasus nyata. Keempat, kolaborasi KUA dengan dunia kampus, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum, LSM hukum perempuan, dan lembaga perlindungan sosial.
Kolaborasi dan sinergi antara KUA dengan dunia kampus diyakini sebagai symbiosis mutualis karena KUA akan mendapatkan asupan hasil kajian akademik dari para akademisi. Sedangkan dunia kampus pun akan terus memutakhirkan kajian-kajiannya setelah mendapatkan gambaran fakta layanan keagamaan on field yang lebih faktual dan up to date dari KUA.
“Teknologi bisa menjadi jembatan. Berbagai aplikasi mobile yang sudah terbangun dan tersedia di KUA dapat dimaksimalkan agar bisa memberikan edukasi pranikah, konsultasi hukum keluarga, hingga laporan dini KDRT. Itu bukan sekadar mimpi, tapi kebutuhan zaman,” ujarnya.
Tholabi menutup paparannya dengan seruan reflektif, “KUA hari ini tidak boleh hanya mencetak akta. Ia harus hadir sebagai institusi penjaga keadilan keluarga. Bukan hanya soal nikah sah atau tidak sah, tapi siapa yang menjaga hak anak, martabat perempuan, dan masa depan keluarga Indonesia. Inilah yang menjadikan KUA sebagai garda terdepan penyediaan layanan keagamaan berdampak yang juga merupakan program prioritas Menteri Agama," tandasnya. (Dimas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar