Ombudsman RI Dorong Evaluasi Menyeluruh Tata Kelola DAK Fisik Sektor Pendidikan

Ombudsman RI Dorong Evaluasi Menyeluruh Tata Kelola DAK Fisik Sektor Pendidikan. (Dok. Ombudsman RI)

Jakarta, WaraWiri.net - Ombudsman RI mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik di sektor pendidikan, serta pembenahan sistem perencanaan dan pengadaan barang/jasa pemerintah agar lebih partisipatif, berbasis kebutuhan nyata, dan berorientasi pada kebermanfaatan publik. Hal ini disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyusul mencuatnya dugaan penyimpangan dalam program pengadaan laptop oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun anggaran 2021.

"Barang publik tidak boleh hanya menjadi komoditas proyek serapan anggaran, tetapi harus menjadi instrumen peningkatan layanan. Negara tidak boleh abai terhadap prinsip-prinsip dasar pelayanan publik, dan kebijakan apa pun harus diletakkan pada kepentingan masyarakat," ujar Yeka di Jakarta, Jumat (13/6/2025).

Lebih lanjut, ia menekankan kebijakan pengadaan harus dilandasi oleh prinsip kebermanfaatan, efisiensi, partisipasi, dan transparansi. Negara harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan yang berdampak bagi masyarakat.

Terkait kasus pengadaan laptop Chromebook senilai hampir Rp9,9 triliun yang kini tengah diselidiki Kejaksaan Agung, menurut Yeka kasus ini bukan semata perkara hukum. Ia menilai peristiwa ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan, sekaligus menjadi peringatan penting bagi negara dalam menyelenggarakan pelayanan publik secara adil, akuntabel, dan partisipatif.

"Ombudsman perlu untuk merespons masalah ini agar menjadi perhatian bersama baik bagi pemerintah maupun publik. Saat ini Ombudsman sedang menangani laporan masyarakat terkait pengadaan barang/jasa di salah satu universitas negeri di bawah Kemendikbudristek, yang mana Ombudsman menemukan maladministrasi dalam proses pengadaannya dengan masalah yang serupa dengan kasus tersebut," ungkap Yeka.

Selain itu, Yeka menerangkan, dalam penanganan laporan masyarakat terkait pengadaan barang/jasa pemerintah oleh Ombudsman, ditemukan permasalahan yang menjadi titik kritis pelaksanaan pengadaan melalui sistem e-Purchasing (e-Katalog LKPP). Hal ini membuka ruang terjadinya perbuatan maladministrasi melalui pengondisian pengadaan barang yang mengarahkan kepada spesifikasi atau merek tertentu. Mirip dengan dugaan masalah yang saat ini terjadi dalam kasus pengadaan laptop Chromebook.

Yeka mengatakan, program pengadaan laptop tersebut menunjukkan indikasi kuat terjadinya maladministrasi dari hulu ke hilir. Mulai dari perencanaan yang tidak melibatkan satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, hingga distribusi perangkat ke sekolah-sekolah yang bahkan belum memiliki infrastruktur dasar seperti listrik dan jaringan internet. 

Selain itu, Ombudsman RI menemukan bahwa tahapan dan ketentuan pengelolaan DAK Fisik sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 130/PMK.07/2019 dan PMK Nomor 198/PMK.07/2021 sebagian besar tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Usulan dari daerah tidak dilakukan, pelaksanaan tidak berbasis rencana kegiatan pemerintah daerah, dan pengadaan dilakukan tanpa verifikasi atas kesiapan penerima. Kondisi ini merupakan bentuk penyimpangan prosedural yang mengarah pada maladministrasi.

Terdapat pula indikasi penyalahgunaan wewenang dalam penentuan arah kebijakan. Rekomendasi internal yang menyatakan bahwa Chromebook belum sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan di Indonesia diabaikan, namun program tetap dijalankan. Penetapan spesifikasi teknis yang hanya mengakomodasi satu sistem operasi (Chrome OS) menimbulkan kekhawatiran akan diskriminasi dalam pengadaan serta potensi praktik tidak sehat dalam persaingan penyedia barang/jasa pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya pengondisian yang tidak sejalan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan kebermanfaatan publik. 

Yeka mengatakan, masalah ini muncul saat pemerintah sedang melakukan efisiensi anggaran nasional, sehingga banyak program pembangunan dan perbaikan sekolah berpotensi harus ditunda atau dibatalkan. Kondisi ini memprihatinkan, karena bersamaan dengan meningkatnya risiko lebih dari 3 juta anak Indonesia putus sekolah akibat terbatasnya akses pendidikan yang layak. Pelayanan publik di sektor pendidikan kini berada dalam kondisi rawan, tertekan oleh keterbatasan anggaran dan rentan terhadap penyimpangan yang merusak kepercayaan masyarakat.

Berkaca dari kasus pengadaan laptop ini, telah terjadi dugaan maladministrasi serius dalam seluruh siklus pengadaan. Kegagalan ini berdampak langsung pada hak masyarakat atas pendidikan bermutu, sekaligus memperlihatkan lemahnya tata kelola perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan penggunaan anggaran negara. 

"Untuk itu, perlu atensi khusus dari pemerintah agar DAK Fisik atau sumber anggaran lainnya di sektor pendidikan penggunaannya betul-betul diprioritaskan untuk mengatasi kebutuhan pelayanan terkait permasalahan akses pendidikan oleh masyarakat, dan proses pengadaannya harus dilakukan dengan standar transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan yang tinggi," tutup Yeka. (Dimas)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar







ADVERTISING

ADVERTISING