Jakarta, WaraWiri.net - Indonesia telah menjadi negara berpendapatan kelas menengah sejak tahun 1992/1993 atau sudah terjebak dalam Middle-Income-Trap (MIT) selama 33 tahun, sehingga diperlukan kajian yang komprehensif serta program yang strategis dan masif agar bisa lebih cepat keluar dari MIT. Hal inilah yang melatar belakangi Ombudsman RI menyelenggarakan acara Penyerahan Hasil Kajian Sistemik mengenai “Pengawasan Program Investasi dan Hilirisasi Nasional, dalam Mewujudkan Indonesia Bebas dari Middle Income Trap” di Gedung Ombudsman RI, Rabu (17/12).
Pada pembukaan acara, Wakil Ketua Ombudsman Bobby Hamzar Rafinus menyampaikan bahwa ada hal baru dari Kajian Sistemik Ombudsman kali ini, di mana kajian Ombudsman biasanya mengenai hal mikro dan teknis terkait layanan publik, namun kajian kali ini mengangkat isu makro yang sangat penting yaitu mengenai upaya mewujudkan Indonesia bebas dari middle-income-trap. Selain itu, juga dikenalkan pendekatan Epta Helix, pendekatan baru dalam koordinasi Stakeholder dengan kolaborasi antara 7 unsur utama, yaitu Ombudsman, Pemerintah, Legislatif, Akademisi, Pelaku Usaha, Masyarakat dan Media/Pers.
Memberikan sambutan sebagai keynote-speaker pada acara tersebut, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengawali dengan update situasi ekonomi dan geopolitik global, serta memaparkan perkembangan berbagai indikator makro yang solid dan mengindikasikan fundamental ekonomi Indonesia yang kuat. Juga capaian realisasi investasi yang tinggi pada Q1-Q3 tahun 2025 mencapai Rp1.434,3 triliun atau naik 13,7% (YoY).
“Capaian Investasi sangat baik. Kita lihat, baru pada Pemerintahan ini (sejak Q4 tahun 2024), realisasi investasi bisa mencapai di atas Rp450 triliun per kuartal, dengan kenaikan dobel digit,” ujar Sesmenko Susiwijono.
Hal tersebut mengindikasikan meningkatnya kepercayaan para Investor, stabilitas ekonomi dan politik, pertumbuhan pasar domestik, dan juga efektivitas dari berbagai program dan kebijakan Pemerintah. Pada akhirnya akan mampu mendorong penciptaan lapangan kerja, peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Terkait dengan upaya untuk keluar dari MIT dan menjadi negara high-income-country, Sesmenko Susiwijono menjelaskan bahwa belajar dari pengalaman negara-negara lain, sangat tidak mudah dan tidak banyak negara yang berhasil keluar dari MIT. Sebagai contoh di Asia, Jepang menjadi negara Asia pertama yang berhasil keluar dari MIT di sekitar tahun 1964.
Lebih lanjut, Sesmenko Susiwijono menambahkan hanya ada 4 negara yang dikenal sebagai Asian Tigers yang mampu mengikuti Jepang keluar dari MIT, yaitu Singapore, Hongkong, Taipei dan Korea Selatan. Negara ASEAN yang lain, Malaysia yang pada 2024 GNI per capita USD11,670 diperkirakan keluar MIT pada 2028, dan Thailand dengan pendapatan USD7,120 diperkirakan keluar MIT baru pada 2037. Sedangkan Indonesia, dengan pendapatan USD4,910 diperkirakan akan bisa keluar dari MIT pada tahun 2038-2045, tergantung pertumbuhan ekonomi ke depan.
“Secara historis, hanya sebagian kecil negara yang berhasil keluar dari MIT. Tantangan umum yang dihadapi adalah pertumbuhan ekonomi yang lambat dan masalah daya saing” terang Sesmenko Susiwijono. MIT terjadi karena produktivitas yang stagnan, inovasi rendah, daya saing lemah, kelembagaan belum kuat dan berbagai permasalah struktural lainnya. Karena itu diperlukan perubahan mendasar dan Reformasi Struktural dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, untuk mendorong reformasi struktural di Indonesia, Pemerintah telah memutuskan untuk bergabung ke dalam OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), organisasi antar-pemerintah yang sebagian besar anggotanya negara-negara maju dan high-income-country, sebagai forum pertukaran informasi, koordinasi aksi dan dialog kebijakan antar negara dalam berbagai isu kebijakan. Negara-negara Anggota OECD akan menerapkan standar OECD dan praktek-praktek tata kelola yang baik serta kebijakan yang harmonis di semua bidang, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
“Melalui aksesi OECD diharapkan akan secara langsung berdampak terhadap Investasi (FDI), akses market global (trade openness) dan penguatan kelembagaan, yang berkontibusi besar mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga mempercepat Indonesia keluar dari MIT” pungkas Sesmenko Susiwijono.
Perkembangan proses aksesi OECD, Indonesia telah mengirimkan dokumen Initial Memorandum dalam Pertemuan Tingkat Menteri OECD tanggal 3 Juni 2025 di Paris. Saat ini Indonesia berada pada tahap tinjauan teknis (technical review), yaitu pendetailan mengenai keselarasan kebijakan di Indonesia dengan standar OECD. Pada 11-12 Desember 2025, tim Sekretariat OECD yang dipimpin Deputy Secretary General OECD Ambassador Frantisek Ruzicka berkunjung ke Indonesia untuk menyampaikan dukungan langsungnya dalam percepatan aksesi Indonesia.
Turut hadir dalam acara tersebut di antaranya yakni Anggota Ombudsman Hery Susanto, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, Chief Economist Danantara Reza Y. Siregar, Deputi Kementerian Investasi Edy Junaedi, serta para Pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya. (Ilham)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar