Jakarta, WaraWiri.net - Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial (PS) dalam hal ini Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) menyelenggarakan Workshop Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan di Jakarta (24/07/2025). Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antara para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam menangani konflik tenurial yang terjadi di kawasan hutan.
Workshop ini dilaksanakan secara hybrid, dengan total peserta sebanyak ±159 orang, terdiri dari 60 orang peserta hadir secara langsung dan 99 orang peserta mengikuti secara virtual. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai unit eselon II di lingkungan Kementerian Kehutanan, antara lain Direktorat teknis lingkup Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial, Direktorat Pencegahan dan Penanganan Pengaduan Kehutanan, Direktorat Pengukuhan Kawasan Hutan, Inspektorat Wilayah II, Biro Hukum, dan Biro Humas dan KLN. Dari Pemerintah daerah hadir dari Dinas LHK Provinsi Riau, Dinas LHK Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan Dinas Kehutanan ProvinsiJawa Timur, serta Balai Perhutanan Sosial se-Indonesia. Hadir juga perwakilan dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Kemenkeu selaku donor dari kegiatan GCF output 2.
Kegiatan workshop dibuka secara resmi oleh Sekretaris Jenderal Kemenhut yang juga menjabat sebagai Plt. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial, Mahfudz. Dalam sambutannya, Mahfudz menegaskan bahwa workshop ini merupakan bagian dari upaya strategis untuk meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antarpihak dalam penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan.
Mahfudz menyampaikan bahwa Perhutanan Sosial menjadi instrumen penting dalam menyediakan ruang penyelesaian konflik secara berkeadilan dan inklusif, serta mendorong terciptanya tata kelola kehutanan yang lebih partisipatif bersama masyarakat. Untuk mendukung hal tersebut, Kementerian Kehutanan terus mendorong implementasi program Satu Peta dan pengembangan Decision Support System (DSS) guna memperkuat keakuratan data spasial, mencegah tumpang tindih perizinan, dan mewujudkan keselarasan data antar instansi.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur PKTHA, Julmansyah, menyampaikan bahwa konflik tenurial merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dalam implementasi kebijakan sektor kehutanan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang adil dan berpihak pada masyarakat, di mana Perhutanan Sosial dapat menjadi salah satu model resolusi konflik yang memberi ruang pemberdayaan kepada masyarakat secara legal dan berkelanjutan. Julmansyah menegaskan bahwa upaya penyelesaian konflik harus dilandasi dengan semangat kolaborasi, membangun kepercayaan, serta komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya.
Inspektur II Kemenhut, Nur Sumedi, turut menyampaikan bahwa penyelesaian konflik tenurial kehutanan memerlukan strategi yang disesuaikan dengan karakteristik dan dinamika di lapangan. Dalam menjalankan tugas pengawasan intern, Inspektorat Jenderal berkomitmen untuk terus mendukung langkah-langkah penyelesaian yang akuntabel dan adaptif terhadap kompleksitas persoalan tenurial kehutanan.
Sementara itu, Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Marcus Octavianus Susatyo, menekankan pentingnya peran pendampingan dalam rangka memperkuat keberhasilan distribusi akses legal melalui program Perhutanan Sosial, yang telah ditetapkan sebagai program strategis nasional. Menurutnya, pendampingan berfungsi tidak hanya untuk membangun komunikasi yang efektif dan mendorong partisipasi masyarakat, tetapi juga untuk memastikan bahwa tata aturan dan perangkat kelembagaan yang dibangun benar-benar mencerminkan keberpihakan kepada semua pihak, serta menjamin proses pengambilan keputusan yang adil dan tepat sasaran.
Workshop ini terdiri dari tiga sesi utama. Pada sesi kedua, dilaksanakan paparan dan diskusi yang mengangkat inisiasi pembentukan “Rumah Pembelajaran Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan” di tingkat provinsi, sebagai salah satu bentuk penguatan kelembagaan dalam penyelesaian konflik. Diskusi pada sesi ini, muncul adanya kebutuhan di tingkat daerah (dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi) suatu mekanisme koordinasi dan komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penanganan konflik tenurial kawasan hutan. Sesi terakhir diisi dengan kegiatan coaching clinic yang difokuskan pada penyiapan data dukung penanganan konflik tenurial kawasan hutan.
Menutup rangkaian kegiatan, Direktur PKTHA kembali menegaskan bahwa penyelesaian konflik tenurial tidak dapat diselesaikan secara sektoral maupun parsial. Diperlukan pendekatan kebijakan yang holistik dan terintegrasi, serta kerja kolaboratif lintas sektor dan wilayah. Kementerian Kehutanan berkomitmen untuk terus mendorong peningkatan kapasitas dan kemandirian masyarakat, penguatan kelembagaan lokal, kewirausahaan sosial, serta pelestarian pengetahuan tradisional dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan.
Melalui workshop ini, diharapkan lahir inisiasi kebijakan baru yang mampu menyelaraskan tujuan, kebutuhan, dan kepentingan berbagai pihak dalam pengelolaan kawasan hutan. Selain itu, diharapkan pula terbangunnya sinergi yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah, serta semakin terlindunginya hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan. (Ilham)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar