Bandung, WaraWiri.net - Saat berkesempatan mengunjungi swalayan ternama, taruhlah Superindo atau Aeon, pengunjung bisa mendapatkan beragam bahan kebutuhan sehari-hari. Berbagai bahan kebutuhan itu tersaji di rak-rak yang dikemas semenarik mungkin. Khusus di rak kebutuhan sayuran, pengunjung bisa mendapatkan layanan yang khas: sayuran yang segar berjejer, ditata rapi, dan mengundang minat pengunjung untuk melihat dan membelinya.
Siapa sangka, sayuran yang dikemas sedemikian rupa tersebut bisa jadi adalah produk dari koperasi Pondok Pesantren Al Ittifaq, Ciwidey, Bandung. Lewat berbagai upaya dan kerja sama dengan berbagai pihak, Pondok Pesantren Al Ittifaq mampu menembus pemasaran swalayan terkemuka di tanah air. Nama besar merk menjadi tantangan tersendiri untuk memasuki pemasaran produk. “Produk kami telah melalui bermacam penelitian oleh berbagai pihak bereputasi internasional. Dari pihak bereputasi internasional ini produk kami mendapatkan rekomendasi bertaraf internasional. Alhamdulillah, rekomendasi tersebut juga menjadi salah satu pertimbangan swalayan nasional ternama dalam menerima produk kami,” tutur Agus Setia Irawan, Ketua Koperasi Pondok Pesantren Al Ittifaq (26/05/2025).
Kewirausahaan (entrepenuership) seperti melekat kuat di mindset Al Ittihad. Cara berpikir yang kuat ini mewujud pada berbagai program yang dikembangkan. Tanpa meninggalkan jati diri sebagai pesantran, Al Ittifaq terus menebar kebaikan dan kebermanfataan pada masyarakat sekitar. Kepada para santri yang tinggal di pesantren, kurikulum salaf sebagaimana yang diajarkan di pesantren lain, biasa menjadi menu pembelajaran meraka.
“Kami memisahkan divisi pendidikan dan pekerjaan agar lebih fokus mengelola. Untuk urusan bisnis dan pengembangannya, Kopontren jelas menaunginya dengan profesional. Urusan internal pondok ditangani tersendiri dengan manajemen berbeda. Ibaratnya, mereka satu rumah dengan kamar masing-masing,” jelasnya.
Terdapat setidaknya 10 kelompok tani yang diisi 270 petani yang berada di bawah pembinaan Al Ittifaq. Para Petani tersebut adalah para alumni yang menyebar ke berbagai daerah sekitar pesantren. Secara rutin dua kali dalam sepekan mereka mengirim hasil pertanian mereka ke pondok yang terdiri dari selada, daun salam, daun pisang, wortel, buah bit, pohpohan, dan lainnya. “Mereka datang ke pondok bukan hanya untuk mengirim hasil pertanian, tapi juga mengikuti pengajian yang khusus diperuntukkan bagi mereka yang sudah alumni. Hubungan seperti ini menjaga silaturahmi dan produktivitas di antara kami,” terang Agus.
“Daripada dijual ke tengkulak dengan harga semaunya,” sambung Agus, “pondok Al Ittihad berupaya menjangkau produk mereka dengan memberikan pembinaan terhadap tata cara menanam sayuran yang baik dan benar. Kami juga menerima hasil pertaaniaan mereka dengan harga yang lebih layak.”
Mengembangkan Ketahanan Pangan
Beragam kebutuhan dasar saat ini bersinggungan dengan perlunya memiliki ketahanan (resiliensi). Pada pondok pesantren, ketahanan pangan memiliki peran dan fungsi strategis tersendiri. Keberadaan pondok pesantren yang pada dasarnya adalah jenis pendidikan yang menyatu dengan lingkup masyarakat dengan sendirinya memiliki isu ketahanan pangan yang kuat. Dibutuhkan strategi dan pendekatan yang tepat dan sesuai dengan lingkungan dalam upaya mengembangkannnya.
Pada dasarnya, isu tentang ketahanan pangan merujuk pada kemampuan individu atau lembaga untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri, berkelanjutan, dan berkualitas. Dalam pemahaman seperti ini, Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, telah menjadi model ketahanan pangan berbasis pesantren melalui pendekatan agribisnis yang inovatif dan terintegrasi.
Berdiri pada tahun 1934 dengan kepeloporan KH. Mansyur dan seterusnya dipimpin oleh KH. Fuad Affandi sejak 1970, pesantren ini mengembangkan sistem pertanian dan peternakan di wilayah Ciwidey. Langkah ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan internal serta berkontribusi pada pasar lokal dan nasional. “Dari dulu, kami mengembangkan lima strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan berbasis pesantren. Kelimanya adalah pertanian organik dan permakultur, produksi skala besar, koperasi pesantren (Kopontren), diversifikasi ekonomi, dan kerja sama serta ekspansi,” Agus menjelaskan.
Pada praktiknya, Agus menambahkan, Pesantren Al Ittifaq menerapkan sistem pertanian organik dan permakultur yang menekankan kesinambungan antara berbagai faktor produksi untuk menjaga stok pangan sepanjang tahun. Teknik ini didukung oleh pelatihan dari organisasi seperti PUM Netherland Senior Expert dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Selama dua tahun, perwakilan pesantren mendapatkan pelatihan dari kedua lembaga tersebut.
Selama kunjungan dilaksanakan, kami melihat pertanian organik menjadi perhatian serius Al Ittifaq. Dengan lahan seluas 11 hektar milik pesantren dan tambahan 30 hektar hibah dari Perhutani untuk kopi, Al-Ittifaq menghasilkan hingga 3,2 ton sayuran per hari, termasuk 63 jenis sayuran dan buah-buahan seperti tomat, kentang, wortel, dan kale. Produk ini dipasok ke pasar tradisional (60%), supermarket, restoran, dan hotel di Bandung dan Jakarta. “Alhamdulillah, produk pertanian organik kami telah menembus pasar strategis hingga masyarakat luas. Semoga capaian ini terus berkembang dan memberi manfaat seluasnya,” tutur Agus.
Bisnis dan konteks usaha yang dikembangkan Al Ittifaq perlu dukungan yang memadai dari lingkungan sekitar. Hal ini secara umum dikenal dengan ekosistem bisnis. Kopontren Al Ittifaq berperan sebagai aggregator dan off-taker dengan menyerap hasil pertanian dari 270 petani alumni dan sembilan kelompok tani di wilayah Bandung, Bandung Barat, dan Cianjur. Hasil penjualan dirotasikan untuk modal pertanian, kebutuhan santri, dan kegiatan sosial seperti nikah massal dan peringatan keagamaan.
Dalam konteks ketahanan pangan, Al Ittifaq juga memilki strategi lain berupa diversifikasi ekonomi. Langkah ini ditempuh dengan mengelola peternakan (sapi, domba, ayam, ikan) dan usaha kecil seperti industri garmen. Limbah pertanian dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan kotoran ternak diolah menjadi biogas serta pupuk. Langkah ini dengan sendirinya menciptakan siklus ekonomi sirkular. Sistem ekonomi sirkular adalah sistem ekonomi yang bertujuan untuk meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya dengan memperpanjang siklus hidup produk dan material. Ini berbeda dengan ekonomi linear yang berfokus pada "ambil, buat, buang". Dalam ekonomi sirkular, produk dirancang agar tahan lama, dapat diperbaiki, digunakan kembali, didaur ulang, atau bahkan diubah menjadi bahan baku untuk produk baru.
Selesai dengan diversifikasi ekonomi, Al ittifaq tidak lupa dengan elemen penting lainnya, yakni kerja sama dan ekspansi. Pada konteks ini, Al-Ittifaq bekerja sama dengan 76 pesantren lain di Jawa dan Sumatera sebagai pemasok sayuran, rencana membangun gudang pertanian, pusat distribusi di Majalengka, dan ekspor ke Jepang dan Belanda. Untuk memperluas cakupan pemasaran, Al ittifaq mengikuti selera pasar yang terus bergerak dinamis dengan membuka pasar digital. Hal ini dilakukan setelah melalui pertimbangan yang cukup matang mengingat pangsa pasar digital adalah niche dan berbeda dengan pasar konvensional.
Menilik prestasi yang ditorehkan Al Ittifaq di bidang lingkungan, ada perasaan bangga yang membuncah. Pada tahun 2003, Al Ittifaq memperolah Penghargaan Kalpataru untuk kategori eco-pesantren. Oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Al Ittifaq layak mendapat Kalpataru atas kontribusinya dalam bidang pendidikan, khususnya dalam konteks keberhasilan mereka menggabungkan pendidikan agama, kewirausahaan, dan praktik ramah lingkungan yang dikembangkan.
Dalam lingkup kurikulum pesantren yang dikembangkan, Al Ittifaq mengajarkan agribisnis pada santri sebagai bagian dari kurikulum. Agribisnis yang diajakarkan meliputi penanaman, proses panen, pengemasan, dan distribusi. Langkah ini mencakup 450-550 santri dari jenjang SD hingga SMA, dengan fokus pada life skills untuk mencetak petani milenial dan wirausahawan. Pergeseran paradigmatik dan langkah praktis terjadi, karena pada awalnya pertanian dikembangkan di pesantren hanya untuk kondisi bertahan dan mencukupi kebutuhan pangan santri.
Selain itu, KH. Fuad Affandi, selaku pimpinan di Al Ittifaq, berupaya keras menanamkan disiplin santri dalam menjaga lingkungan. Ia menilai, Islam sangat menjaga disiplin menghormati lingkungan. Menjadi muslim sejati pada dasarnya adalah juga menjadi bagian dari lingkungan sekitar dan menjaganya. KH Fuad Affandi menanamkan nilai Islam “jangan ada yang mubazir” dengan memanfaatkan sisa makanan sebagai pupuk dan limbah pertanian untuk pakan ternak. Prinsip ini mendukung efisiensi dan keberlanjutan.
Prinsip keberlanjutan lingkungan patut dijaga dan dilestarikan. Dalam prospektusnya, Pesantren Al Ittifaq berkomitmen untuk memaksimalkan lahan dengan prinsip “jangan ada sejengkal tanah yang tidur”. Langkah ini ditempuh dengan pendekatan dan penerapan strategi 3K (kualitas, kuantitas, kontinuitas) untuk menjaga pasokan pasar. Dengan semangat ini, Pesantren Al Ittifaq berupaya semaksimal mungkin mengembangkan dan menjaga lingkungan di area pesantren. Lahan tidur ditanami pepohonan, sementara lahan produktif digunakan untuk pertanian dan peternakan. Dengan kata lain, Al Ittifaq telah memulai langkah konservasi dan pelestarian lingkungan dengan penghargaan bergengsi Kalpataru yang berhasil diraih pada tahun 2003 sebagai bukti langkah serius mereka.
Selain terobosan pertanian dan capaian monumental Kalpataru tersebut, Al Ittifaq beranjak lebih jauh dengan membangun rumah kaca (greenhouse) di lingkungan pesantren. Dengan adanya rumah kaca tersebut, pesantren Al Ittifaq kini menjelma menjadi pusat transformasi sosial-ekonomi desa. Greenhouse menjadi simbol perubahan penting pertanian yang dikembangkan. Dari ketergantungan pada musim dan harga pasar yang fluktuatif, konsep pertanian di Al Ittifaq menuju pertanian yang berbasis pengetahuan, teknologi (penggunaan Internet of Things dalam pertanian dengan sistem pengairan otomatis), dan tentu saja nilai keberkahan sekaligus.
Dengan greenhouse, sistem pertanian di Al Ittifaq yang diprakarsai para santri mampu melakukan kontrol penuh terhadap unsur hara, kelembapan, pencahayaan, dan pH tanah. Seperti yang kita tahu, pH tanah adalah tingkat keasaman atau kebasaan tanah yang diukur dengan skala angka 0-14. Tanah netral memiliki pH 7, sedangkan tanah asam pH-nya kurang dari 7 dan tanah basa pH-nya lebih dari 7. Kondisi dan status pH tanah sangat penting karena mempengaruhi ketersediaan unsur hara bagi tanaman.
Para santri pengelola greenhouse pun leluasa bereksperimen di dalam greenhouse. Salah satu hasil eksperimen yang menonjol adalah tomat ceri. Dibudidayakan dalam greenhouse, tomat ceri ini memiliki rasa yang lebih manis, warna lebih cerah, dan daya simpan lebih lama dibandingkan yang ditanam di lahan terbuka. Masa panennya pun jauh lebih panjang, bisa mencapai 8 hingga 12 bulan tanpa terlalu dipengaruhi oleh musim hujan atau kemarau. Kondisi ini memberi kepercayaan diri yang tinggi pada warga pesantren dalam menatap masa depan mereka di bidang pertanian.
Ditemui terpisah, Direktur Pesantren Dr. Basnang Said memberikan tanggapan atas capaian dan kondisi Al Ittifaq. “Kementerian Agama memiliki komitmen yang tinggi terhadap isu lingkungan hidup dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Menteri Agama juga menekankan cinta lingkungan hidup sebagai bagian penting dalam kurikulum pendidikan. Al Ittifaq memberikan teladan bahwa mereka telah berkontribusi dalam bidang lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang mungkin menjadi role model dalam implementasi cinta lingkungan dan pemberdayaan pesantren sebagai bagian hajat Kementerian Agama yang tertuang dalam Astaprotas,” tandasnya (28/5/2025).
“Saya menilai, langkah Al Ittifaq dalam konteks kewirausahaan dan lingkungan hidup patut diapresiasi. Capaian Penghargaan Kalpataru dan Pemberdayaan lembaga-warga sekitar serta pesantren terimbas menunjukkan bahwa pesantren itu mampu berdaya dan berbuat banyak untuk kemanfaatan bersama,” tutupnya mengakhiri pembicaraan. (Burhan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar