Jakarta, WaraWiri.net - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi mendorong Perguruan Tinggi untuk berperan aktif dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual mengingat kasus kekerasan seksual masih kerap terjadi di lingkungan kampus.
Berdasarkan survei Berdasarkan data survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) pada tahun 2020, sebanyak 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, namun 63% kasus tidak dilaporkan.
Dalam kegiatan sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Goes to Campus di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Selasa (17/12/2024) di Jakarta, Menteri PPPA menegaskan Perguruan Tinggi harus menjadi ruang yang aman bagi para mahasiswa dan seluruh civitas akademika.
"Perguruan tinggi harus menjadi ruang yang aman, kondusif, dan nyaman bagi para mahasiswa dan seluruh civitas akademika. Kita semua prihatin karena data dari beberapa survei dan penelitian menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih kerap terjadi di kampus, salah satunya akibat relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Oleh karena itu, kita semua memiliki kewajiban moral dan legal untuk melindungi perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan," ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA memberikan apresiasi atas komitmen UIN Syarif Hidayatullah yang membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) serta mendirikan “Rumah Ramah Rahmat" sebagai wadah pendampingan bagi korban kekerasan seksual.
"Satgas PPKS dan “Rumah Ramah Rahmat” adalah langkah konkret dari UIN Syarif Hidayatullah yang berkomitmen menciptakan ruang aman dan kondusif bagi proses belajar di lingkungan kampus, memberikan pendampingan bagi korban, serta mendorong pemulihan dan keadilan bagi korban. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi korban kekerasan seksual. Undang-undang ini hadir untuk memberikan rasa aman, memastikan perlindungan, serta menjawab kebutuhan korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan,” ujar Menteri PPPA.
Sosialisasi UU TPKS Goes to Campus adalah program Kemen PPPA yang bertujuan meningkatkan pemahaman bagi civitas akademika tentang upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan mendorong perubahan paradigma, menciptakan ruang aman, dan memperkuat upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pada kesempatan ini, Menteri PPPA, Arifah Fauzi juga menyampaikan tiga program prioritas Kementerian PPPA untuk Tahun 2025-2029, yakni:
Pengembangan Ruang Bersama Indonesia (RBI), sebuah program lanjutan dari Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) untuk lebih memperkuat fungsi gerakan masyarakat di desa yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan perempuan dan anak di desa/kelurahan dengan karakteristik kearifan lokal dan berkesinambungan;
Perluasan Fungsi Call Center SAPA 129 dengan penambahan line untuk layanan informasi/konseling kesehatan mental perempuan dan anak; dan
Penguatan Satu Data Perempuan dan Anak Berbasis Desa yaitu penyediaan data yang akurat dan terkini yang akan menjadi dasar bagi perencanaan dan pelaksanaan program yang efektif.
Menteri PPPA mengajak semua pihak untuk bersinergi mewujudkan ruang yang aman, inklusif, serta mendukung pemberdayaan perempuan dan anak karena upaya melindungi perempuan dan anak Indonesia adalah tanggung jawab bersama.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah menekankan pentingnya kesadaran civitas akademika terhadap isu ketidakadilan gender dan kekerasan seksual.
Menurut laporan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, lebih dari 2,5 juta kasus kekerasan berbasis gender terjadi dalam 21 tahun terakhir.
Kekerasan terhadap perempuan di ranah personal, seperti Kekerasan terhadap Istri dan Kekerasan dalam Pacaran, mencatat angka tertinggi.
Sementara itu, kekerasan di ranah publik, termasuk di lingkungan kampus, juga menjadi perhatian serius.
“Kekerasan seksual adalah fenomena yang kerap tidak terlaporkan dengan baik karena adanya budaya menyalahkan korban atau stigma sosial yang melingkupinya. Lingkungan kampus harus mengambil peran aktif dalam mencegah dan setiap individu berhak hidup bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Kampus harus menjadi ruang aman yang mempromosikan kesetaraan gender dan menghormati keberagaman,” ujar Alimatul.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang Januari hingga Oktober 2024 telah terjadi 1.626 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa.
Data ini menunjukkan adanya peningkatan kasus sejak tahun 2020. Selain itu, hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menyatakan bahwa 1 dari 4 perempuan mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya. (Evi/Alfi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar